Friday, June 8, 2012
[Review Film] Soegija
Film ini ingin melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaaan bangsa Indonesia (1940-1949). Adalah Soegija (diperankan Nirwan Dewanto) yang diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia. Baginya kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul, dan ragamnya.
Dan perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar manusia. Ketika Jepang datang ke Indonesia (1942), Mariyem ( Annisa Hertami) terpisah dari Maryono (Abe), kakaknya. Ling Ling (Andrea Reva) terpisah dari ibunya (Olga Lydia).
Tampaknya keterpisahan itu tidak hanya dialami oleh orang-orang yang terjajah, tetapi juga oleh para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), seorang tentara Jepang dan penganut Budhist, ia tidak pernah tega terhadap anak-anak, karena ia juga punya anak di Jepang. Robert ( Wouter Zweers), seorang tentara Belanda yang selalu merasa jadi mesin perang yang hebat, akhirnya juga disentuh hatinya oleh bayi tak berdosa yang ia temukan di medan perang. Ia pun rindu pulang, ia rindu Ibunya.
Di tengah perang pun Hendrick (Wouter Braaf) menemukan cintanya yang tetap tak mampu ia miliki karena perang. Soegija ingin menyatukan kembali kisah-kisah cinta keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan kematian.
Synopsis di atas saya ambil dari website resmi Soegija dan memang meceritakan keseluruhan isi film. Dari awal saya mendengar judulnya dan ada bisik kanan kiri, saya mengira akan lebih banyak melihat perjuangan Romo Soegija dalam mengatasi akibat dari perang. Nyatanya saya malah lebih banyak melihat bagaimana rakyat begitu menderitanya karena peperangan. Romo Soegija di film ini saya rasa malah menjadi tokoh pemanis saja karena kehadirannya sendiri sangat jarang, dan kalau ada pun hanya sekedar bertanya tentang kondisi perang, menengok orang sakit, memberkati mereka, melawan Jepang menjadikan gereja sebagai base camp. Terlepas dari peran Romo Soegija yang sedikit diperlihatkan di sini, film ini ingin menyentuh sisi kemanusiaan kita.
Saat ditawarkan untuk menonton film ini, mami saya bahkan berpikir akan ngantuk klo nonton film berjenis seperti ini. Nyatanya saat saya menonton, tidak ada rasa kantuk sama sekali. Film ini diselingi dengan humor2 yang membuat para penonton pun tertawa terbahak bahak, seperti celotehan Butet Kertaradjasa dan percakapan antara anak2 kecil yg ada di film. Alunan biola sebagai background music pun membuat saya terhanyut, bagus sekali soalnya. Apalagi banyak juga choir yang menyanyikan lagu gereja atau lagu lawas. Jadi kepingin beli OST nya klo memang dijual :D Oh ya adegan favorit saya soal nyanyi2an ini adalah saat Hendrick menyanyi dengan ibu pemilik hotel tempat dy menginap, saat sedang menyanyi tiba2 adegan berpindah ke adegan Hendrick naik motor membonceng Mariyem di pinggiran pematang sawah.. Sweet!! :) Oh oh..satu lagi adegan/dialog favorit saya, ada hubungan sedikit dengan lagu sih, saat Mariyem bilang ke Ling2 'Maria dalah ibu semua orang. Kalau kamu berdoa padanya maka semua ibu di dunia akan mendengar'. Lalu berdoalah Ling2 diiringi lagu yang sering diputar ibunya, dan yang terjadi adalah...rahasia..nonton sendiri ya :p
Oh ya ada beberapa adegan yang saat menonton nya kening saya berkerut, saya merasa janggal, seperti :
1. Saat Ling2 ngobrol dengan Romo Soegija di pinggir pantai, dy bertanya kurang lebih begini 'Kenapa sih selalau keluarga kami yang dijarah? blablabla.. Apa karena kami Tionghoa?'. Untuk anak seumur Ling2 (kurang lebih 10th) pertanyaan itu terasa kaku dan koq gak cocok sama umur nya ya. Mungkin peperangan juga bisa mendewasakan usia seseorang ya.
2. Tarik ulur antara Hendrick-Mariyem itu bikin gemes. Hendrick jelas menunjukkan rasa suka, tapi Mariyem jutekin terus. Tapi tiba2 ada adegan bonceng membonceng di pinggir sawah itu. Kapan ya tiba2 Mariyem jadi baik sama Hendrick?
3. Lalu yang terakhir, kenapa Hendrick pulang begitu saja..kan kasihan Mariyem *ketahuan banget saya cm excited di kisah cinta mereka hahaha*
Saya juga sedikit terganggu dengan perpindahan adegan demi adegan yang terasa dipercepat. Lompat dari tahun ke tahun. Memang tetap ada alur kunci yang mengikat semuanya. Tapi ada kalanya saya merasa belum puas di satu masa, eh sudah lompat ke tahun berikutnya lagi. Tapi klo mau dicertain semua juga gak mungkin ya, ini saja film nya sudah berdurasi 2 jam. Lalu sebelum film ini naik tayang, sempat ada rumor pencekalan yang menghembuskan kabar bahwa film ini bisa menggoyahkan iman. Sepanjang film saya bertanya-tanya dimana adegan yang dapat membuat iman kita goyah. Pesan yang ingin disampaikan dari film ini jelas universal, bagaimana manusia begitu menderita akibat perang dan bagaimana kita sebagai rakyat Indonesia harus menghargai perbedaan yang ada. Apa karena di film ini para pemainnya berdoa dengan menggunakan tanda salib maka bisa menggoyahkan iman umat lain? Tolong tonton film ini dan tanyakan pada diri anda sendiri :)
Satu hal yang saya salut dari pemutaran film ini adalah bagaimana umat Katolik sangat tergerak untuk membantu kesuksesan film ini. Saat saya menonton film ini kemarin jam 7 malam di Supermal 21, satu bioskop itu full. Untungnya saya sudah booking tempat untuk 78 orang 1 hari sebelumnya. Bisa dilihat bagaimana antusias umat dalam menyaksikan film ini. Dari twitter @soegijathemovie juga ada info bahwa di beberapa bioskop, film ini sold out dalam beberapa hari ke depan. Bahkan ada orang lingkungan saya yang jalan pun susah karena harus pake tongkat, tetap ikut nonton, dy dapat tempat di row A dan tetap semangat untuk nonton. Sungguh luar biasa!
Saya beri nilai 7.5/10 untuk Soegija :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
silakan cari lagu judulnya 'als de orchideen bloeien'. Itu lagu yang dinyanyikan oleh Hendrik dan si ibu pemilik hotel. (dan tampaknya tidak ada di CD OST-nya)
Post a Comment